Satu Langkah Untuk 2/3 Agama

Ketika pertama kali melangkahkan kaki ke jenjang perkawinan, sebenarnya ada satu hal yang mengganjal dalam diri saya. Bukan masalah harta, karena memang belum punya. Bukan masalah pekerjaan, karena memang belum kerja. Bukan juga masalah pilihan. Karena sudah memilih. Tetapi masalah cinta. Bisakah saya mencintai istri saya? Sepertinya ini pertanyaan konyol bin tolol yang tidak seharusnya terjadi. Bukankah orang akan menikah dengan orang yang dicintai? Bukankah sebelum menikah sudah mengenalnya? Tahu sifat dan karakternya? Dan sudah menjadi pilihannya? Tapi, itulah yang terjadi.
Sampai akhirnya saya benar – benar menjejakkan kaki, memasuki altar mahligai rumah tangga. Setapak demi setapak altar perkawinan itu terbuka, dengan seorang wanita yang disebut istri. Seorang perempuan yang sekarang berada di samping saya.  Ada dalam peluk – cium kehidupan saya, baik kala senang maupun susah. Bahkan dalam pelukan kehidupan itu telah memberikan saya (sebagai perantara) empat orang anak yang lucu, cakep dan ayu. Kenapa pertanyaan itu muncul? Ceritanya begini.
Beristri adalah berbagi. Kalau dulu semasa bujangan apa – apa adalah untuk diri sendiri, setelah beristri tentu sekarang hal itu tidak berlaku lagi. Nah, dulu ketika bujangan saja tidak bisa mencintai diri sendiri, lah sekarang kok mencoba mencintai orang lain? Sebab orang harus bisa mencintai diri sendiri dulu toh, sebelum mencintai orang lain bukan? Atau sebaliknya, berhenti mencintai diri sendiri, kemudian mencoba untuk mencintai orang lain (istri).
Ya, itu benar sekali. Inilah kisah yang melatarbelakangi itu. Suatu saat ada seseorang yang bertanya kepada Abu Dzar al-Ghiffari, salah seorang sahabat Nabi SAW, tentang arti cinta. Dia bertanya,  ”Hai Abu Dzar, pernahkah engkau melihat orang yang berbuat jahat terhadap orang yang amat dicintainya?”
”Ooo, pernah. Bahkan sering saya melihatnya,” jawab Abu Dzar. ”Dirimu sendiri itu adalah orang yang paling kamu cintai. Dan kamu berbuat jahat terhadap dirimu bila durhaka kepada Allah,” jelasnya.
Merujuk pendapat itu, saya jadi mati kutu. Ada perasaan takut luar biasa. Karena seringnya berbuat durhaka. Sering menganggurkan diri dari amal sholih. Mengosongkan waktu dari pahala. Banyak bermain dan banyak melakukan hal yang tidak bermanfaat. Penampilan seenaknya. Apakah bisa ini disebut mencintai diri sendiri? Yang saya lakukan sesungguhnya merupakan perwujudan kebencian terhadap diri sendiri. Nggak sayang, nggak eman dengan badan sendiri. Dengan demikian, sebenarnya saya telah tega berbuat jahat terhadap ‘orang’ yang amat saya cintai bukan? Relevansinya, jangan sampai nanti istri cuma jadi korban. Hanya sebagai pelampiasan, tidak diperhatikan dan jadi obyek seperti orang yang didholimi. Tidak terpenuhi hak – haknya.
Maka, di awal – awal perkawinan saya sering katakan kepada istri, “Mari kita berpacu di jalan Allah. Sebab di sanalah cinta kita akan bersemi. Jangan mengharapkan cinta dari saya yang sulit mencintai diri sendiri. Mari cintai diri kita sendiri.” Kalimat puitis, yang saya yakin istri juga bingung menterjemahkannya, walaupun dia bilang, “ Ya.”
Sampai akhirnya hubungan itu mencapai kesetimbangan dan kesepahaman, bahwa dengan dasar yang sama, tujuan yang sama, di atas jalan – jalan Allah dan panji – panji cintaNya, di bawah rahmat dan bimbinganNya, akhirnya cinta itu bersemi. Mekar. Harum. Semerbak mewangi. Meminjam istilah sekarang, seperti layakanya “ketika cinta bertasbih”. Dan jawaban itu seolah muncul lewat sebuah dialog yang saya temukan tanpa sengaja berikut ini.
Sewaktu masih kecil Husain bin Abi Thalib (cucu Rasulullah SAW) bertaya kepada ayahnya, Ali ra: “Apakah engkau mencintai Allah?”
Ali ra menjawab, “Ya”.
Lalu Husain bertanya lagi: “Apakah engkau mencintai kakek dari Ibu?”
Ali ra. kembali menjawab, “Ya”.
Husain bertanya lagi: “Apakah engkau mencintai Ibuku?”
Lagi-lagi Ali menjawab,”Ya”.
Husain kecil kembali bertanya: “Apakah engkau mencintaiku?”
Ali menjawab, “Ya”.
Terakhir Si Husain yang masih polos itu bertanya, “Ayahku, bagaimana engkau menyatukan begitu banyak cinta di hatimu?”
Kemudian Ali menjelaskan: “Anakku, pertanyaanmu hebat! Cintaku pada kekek dari ibumu (Nabi SAW), ibumu (Fatimah ra) dan kepada kamu sendiri adalah kerena cinta kepada Allah. Karena sesungguhnya semua cinta itu adalah cabang-cabang cinta kepada Allah SWT.”
Dan kami pun mengerti dengan apa yang kami lakukan sampai saat ini. Jalan yang kami tempuh dalam meniti cinta Ilahi.
Dan kini, ketika rasa itu melambung tinggi,  tatkala saya bilang I love you full kepadanya, rasanya seperti bilang I love full my body. Justru, lantaran istri, saya mendapatkan kembali bagaimana jalan dan bentuk untuk bisa mencintai diri sendiri. Egois, tapi fantastis.  Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya.(Fushilat:46)
Mirip cerita seorang sufi besar bernama Abu Bein Adhim. Ketika itu ia terbangun di tengah malam. Kamarnya bermandikan cahaya. Di tengah – tengah cahaya itu ia melihat sesosok makhluk, seorang Malaikat yang sedang memegang sebuah buku. Abu Bein bertanya: “Apa yang sedang anda kerjakan?” Aku sedang mencatat daftar pecinta Tuhan. Abu Bein ingin sekali namanya tercantum. Dengan cemas ia melongok daftar itu, tapi kemudian ia gigit jari. Namanya tidak tercantum di situ. Ia pun bergumam: “Mungkin aku terlalu kotor untuk menjadi pecinta Tuhan, tapi sejak malam ini aku ingin menjadi pecinta manusia”.
Esok harinya ia terbangun lagi di tengah malam. Kamarnya terang – benderang, Malaikat yang bercahaya itu hadir lagi. Abu Bein terkejut karena namanya tercantum pada papan atas daftar pecinta Tuhan. Ia pun protes: “Aku bukan pecinta Tuhan, aku hanyalah pecinta manusia”. Malaikat itu berkata: “Baru saja Tuhan berkata kepadaku bahwa engkau tidak akan pernah bisa mencintai Tuhan sebelum kamu mencintai sesama manusia”.
Nah, lho,,,,,inilah bagian dari jalan syukur itu. Rahasia Ilahi dalam mengarungi bahtera cinta dalam rumah tangga. Menguak kebesaran-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam surat ar-Ruum ayat 21;
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu bertempat (memperoleh ketenangan dan ketentraman) kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Mungkin di seberang sana ada yang berfikir, terus apa yang seharusnya dilakukan? Gampang. Bangunlah ketahanan berumah tangga. Raihlah predikat sakinah mawaddah warohmah dengan sebenar-benarnya.
Official Website DPW LDII Kalsel